Ada dua kejadian beberapa hari ini yang meramaikan jagat media sosial. Pertama penangkapan pemeran video mesum yang dilakukan oleh 11 orang, mereka mempertontonkan adegan asusila di media sosial. Kedua, seorang banci yang kembali menjadi seorang pria tulen usai menonton film siksa neraka, garapan sutradara Anggy Umbara.
Dua kejadian di atas merupakan fenomena yang upnormal. Untuk memahami dua kejadi itu, Kami menelepon Praktisi Media Sosial sekaligus praktis pengembangan pribadi dan kerohaniawan, Muhammad Sirod.
“Semua berasal dari keluarga inti sih. Kita musti bangun keluarga yang kuat baik fisik, mental dan spiritual agar dapat menjaga anak, istri dan keturunan kita terjerembab pada hal-hal yang melawan fitrah manusia beradab.” Sirod memulai penjelasan.
Menurutnya, kemajuan peradaban saat ini juga punya ekses ikutan yang musti diantisipasi oleh para pemimpin keluarga — sebagai benteng paling awal dari unit kelompok sosial masyarakat terkecil.
Ia menyarankan para Ayah mesti lebih banyak mengobrol dan berinteraksi dengan anggota keluarganya. Fungsinya, yankni menjadi saluran curhat dan curpik (curahan pikiran) anak istrinya, sehingga setiap anggota keluarga merasa diperhatikan dan dikelola dengan baik.
“Tindakan-tindakan asusila dari sekelompok orang di media sosial awalnya kan mencari-cari perhatian. Gadis kesepian cari perhatian Jejaka, gara-gara butuh atensi maka apa saja dilakukan. Tools-nya mudah dan cepat sekarang ini, bentengnya cuma rasa malu dan keimanan seseorang” jelas ayah dari 3 orang anak yang juga lulusan pesantren ini melanjutkan.
Kata Sirod, negara-negara yang disebut maju dan menjadi rujukan banyak orang hampir punya sisi kelam sekulerisme, karena hanya mengandalkan logika dan kekuatan politik. Sementara kaum cendikiawan dan ulama-nya “ikut-ikutan” melacurkan diri terlalu jauh ke dalam adu kuat pengaruh politik praktis, alhasil masyarakat sulit mencari tokoh yang benar-benar bisa jadi rujuka sebabagai intelektual pemecah masalah sosial.
Sirod berharap, tokoh intelektual negeri ini untuk lebih mawas diri dan tidak terlalu larut dalam arus pertentangan politik, sementara marabahaya pada kaum muda sudah menganga di depan mata.
Jika keluarga tidak bisa menjadi sandaran, maka anak-anak muda akan menyandarkan hidup mereka pada industri yang mereka geluti. Celakanya, industri tidak punya hati dan tidak memiliki kasih sayang untuk membina mereka menjadi manusia berbudi luhur.
Kapitalisme yang sekuler akan memaksa seorang istri lupa melayani suami, ayah terlalu sibuk di luar rumah, sementara anak-anak menjadi korban sisi gelap internet.
Sirod berharap, peran negara ke depan lebih aktif dalam membangun keluarga yang kuat “strong from home” — Negara mesti membuat regulasi yang handal pada pertumbuhan sesuai peradaban kemuliaan ala Pancasila, persis seperti lagu Indonesia Raya “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”.
Penulis: Salman Al Fairisi