Tahun 2024 merupakan eranya tahun politik, mulai dari awal tahun hingga akhir tahun. Dimana semua hal dikaitkan dengan hal-hal yang berbau politik, mulai dari warna pakaian hijau, kuning, merah, biru, dan putih turut dikaitkan kepada dukungan politik, bukan lagi berarti hanya sebuah simbol belaka namun diartikan sebagai identitas dukungan yang sangat politis. Tidak ada lagi warna yang dianggap netral selama 2024. Ataupun simbol-simbol lain yang dianggap menjadi sebuah bentuk dukungan.
Apapun kata-kata dan lontaran yang keluar akan dianggap sebagai suatu hal yang politis. Sebuah kritikan saja masih dicurigai sebagai sebuah agenda setting yang politis. Bahkan eskalasi konflik dalam tahun politik meningkat.
Awal tahun eskalasi konflik memuncak ketika pemilu berlangsung di seluruh indonesia termasuk di kabupaten sumenep yang sangat terkenal dengan kentalnya budaya agamis didalamnya. Walaupun eskalasi konflik tersebut mulai menurun setelah terselenggarakannya pemilu, namun ternyata tidak berhenti sampai disitu terutama di kabupaten sumenep. Ternyata tahun politik tidak selesai secepat itu, sejak pertengahan tahun eskalasi politik kembali mencuat menuju diselanggarakannya pilkada serentak di indonesia.
Terkhusus pilkada di pulau madura, yaitu pulau yang dikenal dengan banyaknya pesantren-pesantren yang hadir di setiap kota di pulau madura. Menariknya, Pilkada pulau madura selalu menjadi sangat menarik disetiap tahunnya dan selalu di warnai dengan warna para kiyai didalamnya, didukung dengan banyaknya politisi yang berlatar belakang kiyai atau menjadi salah satu pengasuh pondok pesantren yang selalu ikut memberi warna pada setiap pilkada di pulau madura terutama di kabupaten sumenep.
Warna kiyai pada setiap pilkada kabupaten sumenep ini malah menjadi sebuah cara pandang yang dianut atau dipegang oleh masyarakatnya. Cara pandang masyarakat di pulau madura terutamanya pada kabupaten sumenep yang seperti ini selalu sangat menghormati pandangan ataupun perkataan para kiyai dalam hampir semua kegiatan pengambilan keputusan di hidupnya. Hal ini berlangsung sejak lama dan sudah terjadi secara turun-temurun bahkan sampai ke tingkatan anak cucu mereka, dan terus berlangsung hingga sampai tahun 2024 atau tahun politik ini.
Dengan keadaan yang ada menjadikan hadirnya warna kiyai dalam pilkada sumenep malah seperti dianggap sebuah indikator kemenangan pada setiap Pilkada yang digelar di kabupaten sumenep. Tentu Pilkada yang selalu diwarnai dengan kiyai ini menghadirkan sebuah paradigma baru dikalangan masyarakat sumenep. Hal ini terjadi tentunya dengan dukungan statement bahwa plihan atau pandangan masyarakat dalam suatu pilihan itu bergantung pada perkataan kiyai atau ulama yang dia anggap sebagai guru atau panutannya.
Stigma-stigma inilah yang kemudian bertumbuh menjadi sebuah stereotip yang berkembang dalam masyarakat kabupaten sumenep bahwa harus ada unsur kiyai untuk dapat memperoleh suara sebanyak-banyaknya dan memenangan Pilkada di kabupaten sumenep. Bahkan stereotip ini terasa sebagai sebuah hal yang memang diyakini apalagi dengan melihat apa yang terjadi dalam lingkungan masyarakat kabupaten sumenep. Pengaruh para kiyai menjadi satu hal yang sangat kuat dalam setiap Pilkada di kabupaten sumenep.
Kiyai seolah membenarkan adanya local strong man yang merupakan seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat dan menjadi seseorang yang sangat berpegaruh dalam Pilkada kabupaten sumenep. Hal ini dibuktikan dengan yang terjadi pada beberapa pilkada sebelumnya yaitu pilkada 2021 yang di menangkan oleh bapak Fauzi Cahmad Wongsojudo dan Nyai Dewi Khalifah alias Nyai Eva, Pilkada 2010 dan 2015 yang memenangkan Kiyai Busyro Karim selama dua periode dan Pilkada 2000 dan 2005 yang kembali memenangkan kiyai Ramdhan siraj selama dua periode berturut-turut. Beberapa pilkada diatas seolah membenarkan bahwa Kiyai menjadi suatu indikator wajib dalam Pilkada kabupaten sumenep, ntah itu sebagai bupati ataupun wakil bupati.
Bentuk dukungan kuat yang diberikan masyarakat kabupaten sumenep pada seorang kiyai atau ulama sungguh tidak main-main, dengan mengantongi dukungan inilah kemenangan dapat diraih. Namun, hal ini memunculkan kecurigaan bahwa Kiyai sudah dijadikan sebuah alat propaganda bagi segelintir politisi yang memang mengincar kemenangan dikabupaten sumenep. Seperti yang dikutip dari Orien Effendi dalam bukunya bahwa seorang tokoh agama atau ulama dapat dijadikan sebuah alat propaganda yang dijalankan menggunakan teknik propaganda transfer, dimana hal ini memanfaatkan pengaruh tokoh agama atau ulama tersebut untuk menarik suara massa sebanyak-banyaknya.
Propaganda-propaganda seperti ini lah yang tentu akan mempengaruhi voting behavior atau perilaku pemilih. Ketika psikologi seorang pemilih sudah dapat dipengaruhhi sesuai keinginan pihak tertentu, maka akan dengan mudah mendapatkan suara massa dengan jumlah yang banyak. Psikologi pemilih adalah celah termudah yang dapat digunakan untuk mendapatkan suara massa sebanyak-banyaknya dan di kabupaten sumenep sendiri yang menjadi alat untuk mempengaruhi tersebut adalah dengan memunculkan warna kiyai dalam kubu-kubu mereka.
Hal ini dapat menjadi suatu hal yang buruk atau bahkan baik, stereotip yang terus berkembang sejak beberapa periode kebelakang dan bahkan untuk Pilkada saat ini yang masih diwarnai oleh kiyai dapat menjadikan sangat kecil peluang untuk seorang muda mudi ataupun seseorang yang ini maju pada pilkada namun tidak dapat membawa warna kiyai dikubu tersebut. Namun stereotip ini bisa dipandang positif apabila ketika melihat hasil kerja baik para kiyai-kiyai yang meramaikan Pilkada di hampir setiap periodenya.
Stereotip ini menjadikan hasil pemilu seolah sudah ditebak padahal ini merupakan hal yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Kabupaten Sumenep selama lima tahun kedepan yang menjadikan beban psikologis masyarakat yang semakin kompleks.
Beberapa bulan kedepan sampai saatnya Pilkada Sumenep 2024 akan dilangsungkan keadaan masih akan terus mengalami ketegangan, dan akan menjadi suatu hal yang menjadi ancaman beban psikologis yang mungkin masih akan terus meningkat dikalangan masyarakat sumenep kedepan. Semoga hal ini tidak berlarut selamanya serta tidak akan turut meningkatkan jumlah pasien Rumah Sakit Jiwa terlebih pasca Pilkada sumenep 2024 ini. Walaupun 2024 ini kita terasa dikepung oleh perdebatan dimedia arus utama, blog, dan sosial media terkait hiruk pikuk pencalonan bupati dan wakil bupati Kabupaten Sumenep yang terasa seperti sebuah kepungan tanpa akhir, semoga seluruh masyarakat kabupaten sumenep dapat menentukan pilihan yang tidak hanya benar tapi juga baik.
Oleh : Shoumi Shafira, mahasiswi jurusan Administrasi Publik Fakutas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Wiraraja Madura