“Pendidikan politik yang baik akan membentuk generasi penerus yang cerdas dan kritis dalam mengambil keputusan.” (Anonim)
——-
Tersiar kabar bahwa wacana politisasi santri di Pilkada Sumenep sedang mengemuka. Bahkan sekelas Rektor Universitas, turut angkat bicara: Wacana politisasi santri di pilkada tidak sesuai dengan nilai syariah dan demokrasi, dikutip dari salah satu media.
Dalam politik, ini adalah wacana yang biasa. Sebab politik, seawam yang saya tahu, selalu menghalalkan segala cara. Lagi pula, politik kekuasaan tidak bisa dibangun dengan kebenaran semata. Ia harus merangkul di luar kebenaran, untuk memberi kesan bahwa kekuasaan hadir untuk seluruh golongan.
Jamak diketahui bahwa, di dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Sang Rektor Universitas ini seakan telah menunjukkan diri, dengan siapa dia akan berdiri(?) Sekali lagi, itu biasa. Dan tafsir receh ini pun bisa jadi keliru juga.
Walakin, jika boleh menyela, jangan asingkan santri dari politik. Sebagai warga negara, mereka memiliki hak politik yang sama. Berderma atau dipolitisasi, itu hanyalah pilihan diksi semata. Fakta yang terjadi pada tanggal 14 Oktober 1944, di Jakarta, adalah contoh nyata para santri berderma atau dipolitisasi(?) demi cinta negara.
Bagi sebagian pendengar, memilih diksi atau frasa yang tepat adalah bentuk sederhana dari sikap dewasa, terdidik dan wibawa. Maka, memilih frasa politisasi santri, bisa jadi menyakiti semua kontestan Pilkada Sumenep.
Sebab, kedua kontestan sama-sama ada keterwakilan kyai yang memiliki basis santri. Pertanyaanya, siapa sosok kyai yang telah melakukan politisasi santri dan mendesak untuk disikapi(?) Dan jika kedua kyai di dua kontestan terbukti malakukan politisasi, lalu apa yang keliru dari dinamika politik ini(?) Bukankah politik selalu halalkan segala cara hingga hari ini(?)
Sebagai warga negara, santri layak diberikan keleluasaan dalam berpolitik. Tidak perlu ada frasa politisasi santri. Sebab dari kacamata para santri, sikap politik mereka bisa jadi adalah penerjemahan dari ta’dzim, membela kebenaran dan melawan kejahatan. Bisa saja, kan?
Sikap para santri kepada kyai adalah relasi sosial yang sayogyanya diterima sebagai sebuah keragaman. Jangan sampai dikooptasi dan dipolitisasi hanya demi menunjukkan diri, dengan siapa kita akan berdiri. Pernyataan itu seperti merendahkan diri sendiri.
Terakhir. Santri akan tetap mengaji, membaca barzanji, dan mungkin secara perlahan akan belajar politik dari orang-orang yang mereka hormati. Maka, apa memang perlu para politisi datang kepada para santri dan mengajarkan bahwa politik sudah biasa menghalalkan segala cara(?) Salam awam saja.
Oleh : Nur Kholis, Kontributor Kompas TV