Netranews.co.id, Sumenep – Pengurus Cabang Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (PC Kopri) Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, turut soroti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di daerahnya yang dinilai telah berada pada level darurat. Selasa, 8 Oktober 2024.
Hal disampaikan Ketua Umum Kopri PC PMII Sumenep, Amiqatul Amalia yang yang menyebut peristiwa KDRT di Sumenep seakan-akan tidak pernah terbendung, bahkan sampai ada korban jiwa yang baru-baru ini terjadi.
“Ini tidak terlepas dari peristiwa KDRT yang dialami oleh korban berinisial NS (27) perempuan, yang dianiaya oleh suaminya AR (28) sebanyak dua kali, hingga berujung tewasnya korban,” kata Mia sapaan akrabnya, pada Selasa (08/10).
Menurutnya, KDRT yang berujung hilangnya nyawa korban tersebut, merupakan alarm darurat bagi Pemerintah Kabupaten Sumenep dan semua instansi terkait.
“Kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga yang terjadi di Kabupaten Sumenep sudah darurat,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya peran Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga yang berkaitan langsung untuk mengevaluasi kinerjanya dalam persoalan ini. Ia juga menilai, Pemerintah sudah gagal memberikan perlindungan dan ruang yang aman kepada perempuan.
Padahal, kata dia, di tengah kondisi sosial masyarakat yang masih sangat tradisional dan cenderung patriarki ini menjadikan perempuan dalam situasi rentan akan eksploitasi para lelaki yang acap kali berujung pada tindakan kekerasan.
“Menempatkan perempuan khususnya dalam rumah tangga menjadi orang nomer dua. Kondisi relasi kuasa yang tidak seimbang ini, menjadikan perempuan dieksploitasi para lelaki, bahkan sering berujung kepada tindakan kekerasan,” tandasnya.
Ia menegaskan, kurangnya perhatian pemerintah dan program kerja yang dinilai hanya sebatas formalitas ini memicu menguatnya budaya patriarki dan menyudutkan perempuan yang secara fisik sudah tidak berdaya.
“Peristiwa KDRT yang terjadi, dipicu karena ketersinggungan maskulinitas. Kasus ini bukan lagi sebuah ancaman biasa, melainkan alarm berbahaya yang tidak hanya sekedar responsif gender saja. Namun harus ada upaya untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga,” tegasnya.
Ia berharap, kondisi ini dapat dilihat oleh Pemkab Sumenep dan institusi terkait dan menjadikan potret sosial budaya masyarakat yang ada sebagai dasar untuk membangun rangkaian kebijakan pencegahan.
Lebih lanjut, Mia mempertanyakan, komitmen Pemkab Sumenep dan Kementerian Agama (Kemenag) setempat dalam melakukan langkah-langkah kebijakan yang sangat responsif gender. Sebab, kata dia, Kemenag memiliki peranan yang sentral, dalam memberikan pemahaman kepada setiap pasangan yang hendak membangun biduk rumah tangga.
“Seharusnya, dalam pelatihan pra nikah yang memberikan bekal untuk pasangan suami istri dalam peran dan tanggung jawab nya setalah menikah nanti,” ungkapnya.
Namun, sambungnya, pada kenyataannya, hal itu hanya dijadikan formalitas dalam pemenuhan legalitas menuju persetujuan pernikahan. Oleh karenanya, ia lantas mendesak pemerintah agar dapat memastikan jika rumah tangga merupakan ruang yang aman bagi perempuan.
“Kasus kekerasan yang berujung kematian ini bukan tindakan kriminal biasa, melainkan kekerasan berbentuk gender yang menjadikan perempuan makhluk yang lemah dan tidak berdaya dalam hal apapun,” tandasnya.
Ia juga mengingatkan, agar peristiwa semacam ini menjadi yang terakhir kalinya di Kabupaten Sumenep. Karena hal itu akan menjadi preseden buruk, bagi pemerintah atas kegagalannya melindungi kelompok rentan.
Tentu harapan itu hanya dapat digapai apabila pemerintah serius menyusun kebijakan-kebijakan perlindungan kepada perempuan. Salah satunya melalui pola kolaborasi, beserta kebijakan yang holistik.
“Upaya revolusioner dibutuhkan untuk segenap lapisan, mulai akses ruang aman dan speak up terkait kekerasan ini,” pungkasnya. (Dim/red)