Pemerintahan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah Administrasi Negara, sedangkan Pemerintah dalam arti luas (Government in Broader Sense) adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara, mulai dari pemerintah pusat sampai dengan pemerintah daerah.
Sistem pemerintahan terdiri atas dua suku kata, yaitu sistem dan pemerintahan. Masing-masing mempunyai pengertian. Apabila digabungkan, kedua kata tersebut menjadi suatu pengertian yang berkaitan dengan sistem ketatanegaraan. Dilihat dari segi etimologi, sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintahan adalah sebagai berikut: “Pemerintahan secara luas adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan negara secara umum, baik di tingkat pusat maupun daerah, meliputi penyusunan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan serta pelayanan publik. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintahan adalah sebagai berikut:
a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan    ertinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintahan);  dan
c. Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan, dan sebagainya) memerintah. Bahwa perkembangan UUD 1945, mengemukakan rumusan baru pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dimaksudkan:
1. menegaskan kedaulatan akan selalu ditangan rakyat, sebab selama ini ada semacam tafsir bahwa MPR yang memegang kedaulatan rakyat (penjelasan Pasal 3), rakyat seolah-olah mengalihkan kedaulatan kepada MPR, sehingga rakyat pun tergantung pada kemauan MPR.
2. kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD juga dimaksudkan bahwa MPR buka satu-satunya yang melaksanakan kedaulatan rakyat, kedaulatan rakyat dilaksanakan juga oleh lembaga lain. Ketentuan ini juga bermaksud bahwa kekuasaan semua alat kelengkapan negara terbatas, yaitu dibatasi oleh UUD.
Dapat dikemukan pokok-pokok yang menjadi maksud dari rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahab), yaitu:
1. merupakan penegasan bahwa kedaulatan rakyat tetap pada rakyat, tidak beralih pada lembaga negara sebagaimana kadang ditafsirkan seolah-olah kedaulatan rakyat itu beralih pada MPR,
2. semua kekuasaaan alat negara dibatasi oleh UUD, dengan kata lain menganutm nsupremasihukum, supremasi hukum merupakan hal penting dari kedaulatan hukum terkait dengan rumusan Pasal 1 ayat (2) (perubahan), dapat diarttikan bahwa secara tidak langsung menganut teori kedaulatan rakyat dan juga kedaulatan hukum.
Perkembangan pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai hubungan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam konteks bentuk negara Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa ‘Negara Indonesia. adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan konstitusional ini memberikan pesan bahwa Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibangun dalam sebuah kerangka Negara yang berbetuk kesatuan (unitary), dan bukan berbentuk federasi (serikat). Untuk itu, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) haruslah diletakkan dalam bingkai pemahaman negara yang berbentuk kesatuan bukan berbentuk federasi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (1) UUD 1945.
Pembagian kewenangan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan akan berdampak pada tingkat wewenang pemerintah pusat dan daerah. Meskipun pemerintahan daerah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan pemerintah pusat, objek yang diurusi adalah sama tetapi kewenangan yang berbeda. Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perbedaan dalam rumusan kekuasaan, tugas, dan kewajiban DPRD dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah terdahulu yang tidak berlaku saat ini, seperti membuat dan menetapkan peraturan daerah, mencalonkan kepala daerah, dan mencalonkan wakil kepala daerah Namun, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan hal yang baru di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah adalah undang-undang pertama yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Namun, DPRD bukanlah institusi yang sepenuhnya memilih kepala daerah karena pada akhirnya, Menteri Dalam Negeri memiliki wewenang Pembagian kewenangan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan akan berdampak pada tingkat wewenang pemerintah pusat dan daerah. Meskipun pemerintahan daerah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan pemerintah pusat, objek yang diurusi adalah sama tetapi kewenangan yang berbeda. Sehubungan dengan pemilihan kepala daerah, terdapat perbedaan dalam rumusan kekuasaan, tugas, dan kewajiban DPRD dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah terdahulu yang tidak berlaku saat ini, seperti membuat dan menetapkan peraturan daerah, mencalonkan kepala daerah, dan mencalonkan wakil kepala daerah Namun, pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukan hal yang baru di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah adalah undang-undang pertama yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Namun, DPRD bukanlah institusi yang sepenuhnya memilih kepala daerah karena pada akhirnya, Menteri Dalam Negeri memiliki wewenang untuk memilih dan mengangkat salah satu calon kepala daerah yang diajukan oleh DPRD untuk memilih dan mengangkat salah satu calon kepala daerah yang diajukan oleh DPRD.
Undang-Undang sebelumnya yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 101 dan Pasal 154 dari undang-undang tersebut memberikan kewenangan serta tanggung jawab kepada DPRD untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota mulai dari proses pencalonan hingga penetapan pemenang. Namun, pada tahun 2014, DPRD kembali terlibat dalam pemilihan kepala daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini muncul setelah evaluasi dari praktik pelaksanaanpemilihan kepala daerah yang dijalankan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Setidaknya, terdapat dua argumentasi utama yang melatarbelakangi gagasan kembali dipilihnya Kepala daerah oleh DPRD:
a. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah membutuhkan biaya sangat besar, baik biaya yang dikeluarkan oleh negara melalui penyelenggara pemilihan kepala daerah, maupun biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon; dan
b. Praktik pemilihan kepala daerah yang diwarnai dengan politik uang, mulai dari yang besifat sporadis hingga yang bersifat masif, terstruktur.
Terkait dengan pengeluaran, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan biaya APBN dan APBD yang signifikan. Walaupun saat ini pemerintah telah memulai pemilihan kepala daerah secara serentak untuk mengurangi pengeluaran, jika dilihat dari sisi pelaksanaannya, justru pemilihan kepala daerah secara serentak lebih mahal daripada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh masing- masing daerah sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Berkaitan dengan pembiayaan, pemilihan kepala daerah secara langsung membutuhkan anggaran APBN yang tidak sedikit. Meskipun, saat ini Pemerintah telah menginisiasi pemilihan kepala daerah secara serentak untuk menekan anggaran. Namun, menurut pendapat penulis jika dilihat dari segi pelaksanaannya justru penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak lebih boros dibandingkan pemilihan kepala daerah yang waktunya disesuaikan oleh masing-masing daerah.
Pada tahun 2020, terdapat 270 daerah di Indonesia yang melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung dengan biaya sebesar Rp 20,4 triliun. Namun, biaya yang besar tersebut tidak mampu menjamin terpilihnya kepala daerah yang terbaik, seperti yang seharusnya menjadi esensi dari pemilihan tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa terdapat 34 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi pada tahun 2022. hal ini dapat diubah jika pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD yang melibatkan hanya beberapa anggota DPRD saja, dengan jumlah antara 35-55 orang untuk DPRD kabupaten/kota dan 35-120 orang untuk DPRD provinsi. Melalui cara ini, pemerintah dapat menghemat biaya yang besar yang dibutuhkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Selain itu, pemilihan kepala daerah melalui DPRD dianggap lebih efisien dan tetap menjalankan fungsi hukum dalam pemilihan kepala daerah. dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD karena dapat membantu menemukan calon kepala daerah yang sesuai dengan kualitas yang diharapkan oleh masyarakat, terutama nkarena anggota DPRD memiliki pendidikan yang lebih baik.
Berkaca pada hal tersebut, tentu Pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar yang dikeluarkan jika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Sebagaimana pemilihan kepala daerah melalui DPRD merupakan gagasan efisien dan mampu memberika manfaat bagi masyarakat tanpa mengorbankan fungsi hukum dalam pemilihan kepala daerah.
Dengan hal tersebut, sebagaimana fungsi pemilihan kepala daerah adalah memilih calon kepala daerah yang terbaik. Melalui DPRD yang notabene merupakan orang-orang berpendidikan, maka akan lebih bisa ditemukan calon kepala daerah yang sesuai.
Selain itu, tidak dapat disangkal bahwa DPRD merupakan institusi yang secara hukum dan politis dipilih oleh rakyat, sehingga DPRD merupakan wakil rakyat yang mempunyai tanggung jawab menampung aspirasi masyarakat. Bahkan, tidak dapat dipungkiri jika DPRD merupakan representasi dari rakyat yang ada di daerahnya. jika pemilihan dilakukan oleh DPRD sebagai wakil rakyat, mungkin saja dapat menghemat anggaran dari segi pelaksanaannya serta mungkin saja dapat memudahkan terpilihnya kepala daerah yang terbaik bagi daerahnya.
Selain itu, tak dapat disangkal bahwa DPRD merupakan institusi yang dipilih oleh rakyat secara hukum dan politis. Oleh karena itu, DPRD bertindak sebagai wakil rakyat yang memiliki tanggung jawab untuk menampung aspirasi masyarakat dan juga merupakan representasi dari masyarakat di daerah tersebut. Menurut penulis, jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD sebagai wakil rakyat, maka bisa jadi anggaran untuk pelaksanaannya dapat dihemat, dan juga memudahkan terpilihnya kepala daerah yang terbaik untuk daerah tersebut. Terkait dengan politik uang, tak jarang para calon kepala daerah menggunakan politik uang sebagai strategi politik untuk memperoleh suara dari rakyat. Pada pemilihan umum kepala daerah tahun 2020, Bawaslu bahkan berhasil memproses 37 kasus politik uang selama pemilihan kepala daerah serentak tahun itu. Politik uang tersebut juga dilakukan dengan membeli dukungan dari partai-partai pendukung hingga jelas dicalonkan dari partai.
Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya pemilihan kepala daerah memiliki tiga fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah:
a. memilih kepala daerah yang sesuai dengan kehendak masyarakat di daerah sehingga diharapkan dapat memahami kehendak masyarakat di daerah;
b. melalui pemilihan kepala daerah diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada visi, misi, serta kualitas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah; dan
c. pemilihan kepala daerah merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik.
Oleh : Solechoel Hadi. H, SH. MH. Â C. STPI
Kantor Advokat and Konsultan Hukum Tunggak Semi Joyo
Alumni PMIIÂ (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Merdeka Malang
Disclaimer : Sepenuhnya tanggungjawab opini tersebut adalah tanggungjawab penulis.