Oleh : King Abdul Rahem
Netranews.co.id
Tuhan,
Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu
bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu
haramkanlah aku daripadanya
Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu
Maka jangan palingkan wajah-Mu dariku
Syair Tokoh Sufi perempuan itu masyhur dalam berbagai literasi. Membacanya terasa ngeri, karena ia tidak membutuhkan apa-apa bahkan sekelas surga sekalipun. Bahkan ia merasa tidak takut terhadap siksa sekelas neraka sekalipun.
Itulah cara Rabi’ah Al-Adawiyah bertasawwuf. Ia menjalaninya dengan ajaran mahabbah. Kecintaannya kepada Tuhan mengubur segala kepentingan dan ketakutan yang semestinya dimiliki manusia. Rabi’ah Al-Adawiyah, justru mendobrak sifat-sifat umum basyariyyah dan cenderung tidak bergumul dengan manusia.
Lain dulu lain sekarang, jika dulu bertasawuf itu masih bisa bersikap seperti Rabi’ah Al-Adawiyah, ia lebih asyik “bercinta” dengan Allah SWT. dan cenderung mengasingkan diri dari hiruk pikuk umat manusia, atau masih bisa berkhalwat di zawiyah-zawiyah, bertapa di goa, gunung atau menyepi di suatu tempat dalam rangka memadu kasih dengan Allah SWT.
Rabi’ah Al-Adawiyah menghabiskan seluruh waktunya untuk memperkuat spiritual pribadinya di sisi Tuhan. Ia tidak mau terlibat dalam urusan dunia sama sekali. Bahkan tidak sedikit para sufi trdahulu yang menghabiskan materi dunianya untuk kepentingan akhirat, karena meraka menganggap bahwa dunia sangat mengganggu dan menjadi penghalang menuju Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan saat ini? Seperti telah dipahami bersama bahwa saat ini arus tranformasi dan digitalisasi begitu kuat mempengaruhi kehidupan seseorang dari berbagai lini. Kekuatan digital begitu mengakar ditengah-tengah masyarakat hingga disemua jenjang usia. Kehadiran teknologi saat ini tidak lagi sekedar menjadi kebutuhan tetapi telah menjadi gaya hidup yang sulit dilepas. Bahkan dipastikan jika mereka lepas dari digital mereka akan “mati”.
Digital saat telah mewarnai setiap gerak manusia, mulai dari makan minum, moda transportasi, komunikasi, hingga persoalan yang sangat privat sekali. Artinya teknologi telah menjadi dasar kehidupan saat ini. Seakan-akan tanpa teknologi mereka tidak punya kekuatan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Disinilah sudah mulai terjadi pergeseran nilai-nilai spiritual.
Era digital saat ini, sangat mengancam spiritualitas seseorang, dengan digital segala sesuatu menjadi serba mudah dan serba cepat, sehingga mempengaruhi pada pada nilai-nilai kapitalisme, hedonime, materialism, hal ini terus menggerogoti nafsu dunia seseorang yang mengajak manusia semakin jauh dari Tuhan. Hingga pada titik tertentu nantinya manusia akan kehilangan jati dirinya sebagai hamba, dan berakibat pada runtuhnya moral dan aklakul karimah.
Hemat penulis, bertasawuf di era digital seperti sekarang, adalah berupaya menghadirkan nilai-nilai spiritual ke dalam dirinya yang telah “digrogoti” teknologi kemudian dipancarkan melalui perilaku positif untuk kebaikan seluruh makhluk.
Bertasawwuf saat ini, tantangannya jauh lebih besar dari zaman Rabi’ah Al-adawiyyah. Bagaimana tidak, jika dulu misalnya uzlah atau menjauhkan diri dari keramaian begitu mudah dilakukan, populasi belum seriuh-pakewuh seperti saat ini, tidak ada kendaraan dengan knalpot brong, tidak ada handpohone, tidak ada alat pengeras suara, sehingga tanpa ke goa sekalipun uzalh dengan mudah bisa dilakukan.
Berbeda dengan saat ini, untuk ketempat sepi dan sunyi butuh pertimbangan dan waktu yang pas. Sebab menurut pandangan sufi klasik, jika masih banyak berkumpul dengan banyak manusia, pasti banyak pengaruh yang akan mengganggu ketenangan dan kebersihan jiwanya. Belum lagi dengan hadirnya teknologi seperti sekarang ini, seperti HP dan lain-lain.
Bukankan seorang mukmin mempunyai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar? Bagaimana melakukannya jika ia sendiri lari dari norma sosial. Sufisme adalah metode atau cara menemukan kebahagiaan sejati, dimana Tuhan sebagai objek sekaligus subjek. Proses uzlah dan khalwat harus dijalankan dengan menyesuaikan terhadap semangat yang ada.
Sufisme tidak mengajarkan meninggalkan makan minum, tidak mengajarkan jauh terasing dari kehidupan sosial. Justru para sufi harus hadir ditengah-tengan masyarkat dan mengatasi setiap persoalan yang ada, tanpa harus menyalahkan norma-norma sosial atau dengan anti teknologi.
Maka pola uzlah dan khalwat yang harus ditempuh oleh para sufi saat ini adalah dengan menguasai ilmu teknologi, para sufi harus mampu tampil mejadi pribadi yang visioner, mengubah pola-pola hidup yang menyebabkan jauh rentang dengan Tuhan, para sufi harus menjadi tauladan sekaligus menmbangun peradaban baru diera digital ini, menuju akses spiritual.
Di era digital seperti sekarang ini, uzlah dicukupkan dengan berdiam diri sejenak, dimanapun, dipasar atau di masjid, untuk sekedar bertegur-sapa dengan Tuhan, para sufi saat ini harus tetap tampil eksis di tengah-tengah masyarakat dengan membawa perubahan yang positif dan mengajak masyarakat menciptakan sebuah peradaban spiritual yang tinggi. Terus melakukan inovasi untuk mempengaruhi dan menggeser tahap demi tahap sosial budaya yang tidak relevan dengan nilai-nilai sosial dan agama, menjadi tasawwuf berkeadaban di era Digital.
Wallahu A’lam Bisshawab
Pangkeng Kona Torbang, 28/02/2023
*King Abdul Rahem adalah ABD. RAHEM. Sarjana Matematika STKIP PGRI Sumenep. Kontributor RCTI, MNCTV, GTV, iNewsTV Wilayah Sumenep. Santri Nahdlatul Ulma