Netranews.co.id – Disahkannya UU Cipta kerja baru-baru ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, salah satunya dari sekretaris Daerah BEM Nusantara Jawa Timur, Moh Choirul Anam. Ia merupakan aktivis Madura Kebupaten Sumenep Madura Jawa Timur.
Moh Choirul Anam mengungkapkan UU cipta kerja yang di sahkan kemarin sangat berpotensi matikan petani Indonesia.
Diketahui, dalam UU cipta kerja yang dirumuskan dengan metode omnibus law ini memuat aturan yang esensinya untuk membuka keran impor pangan selebar-lebarnya ditengah petani lokal yang hasil pertaniannya sering tidak terserap optimal oleh pasar.
Pada pasal 30 ayat 1 UU cipta kerja terdapat perubahan yang krusial dibanding dengan UU eksisting pasal 30 ayat 1 yang berbunyi setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pemerintah.
Hal itu berubah menjadi “kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani”.
“Pasal 30 ayat 1 UU cipta kerja ini sangat tidak berpihak pada petani, saat UU eksisting dengan tegas melarang impor ketika kondisi kebutuhan terpenuhi, UU cipta kerja justru memberikan ruang bebas untuk melaksanakan impor”. kata Moh Choirul Anam dengan nada berapai-api.
Menurutnya tanpa adanya UU cipta kerja saja, persoalan impor pangan yang membuat harga jual hasil pertanian petani lokal sangat murah pun tak kunjung terselesaikan. Ditambah dengan adanya aturan yang jelas-jelas membeikan ruang untuk melaksanakan impor sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan konsumi dan cadangan pangan nasional, ini tentu akan menghimpit petani lokal.
“Persoalan impor pangan yang membuat hasil pertanian dihargai murah saja menjadi masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Apa lagi ditambah dengan aturan cilaka seperti ini, tentu akan semakin menghimpit petani kita” jelasnya.
Perlu diketahui, aturan sanksi dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar bagi pengimpor komoditas pertanian, saat hasil komoditas lokal masih mencukupi yang sebelumnya di atur di pasal 101 UU no. 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani juga dihapus ataupun tidak terdapat di UU cipta kerja.
“Bunyi pasal 101 no 19 UU perlindungan dan pemberdayaan petani yang memaparkan sanksi bagi pelaku impor komoditas pertanian saat hasil petani lokal masih mencukupi pun juga di hapus di UU cipta kerja. Ini kan semakin memperjelas arah kepentingan yang di perjuangkan dalam UU cilaka ini” tegas Choirul Anam memaparkan.
Pihaknya juga menjelaskan petani Indonesia tidak akan mampu bersaing dalam pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pun pemodal besar di bidang pangan. Ini berpotensi mematikan petani lokal kita
Terlebih lagi saat kita lihat dari proses penyusunan dan pengesahannya yang terkesan ugal-ugalan dan dipaksakan.
Lanjut Moh Choirul Anam dalam narasiya, bahwa MK telah menilai UU tersebut cacat formil dalam proses pembahasannya yang tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan, yang tertera dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dengan sangat jelas MK memutuskan UU tersebut inkonstitusional bersyarat.
Tapi kemudian setahun setelahnya pemerintah menerbitkan Perpu no 2 tahun 2022 untuk mengganti UU cipta kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Ditengah banyaknya penolakan atas UU cipta kerja, DPR malah melaksanakan Rapat Paripurna tepatnya Selasa 21/03/2023 untuk mengesahkan undang-undang cilaka tersebut.
“Dari proses penyusunan hingga pengesahannya yang ugal-ugalan dan sama sekali tidak memperhatikan suara rakyat yang bergejolak, kita bisa mengetahui dan tentu semakin memperkuat asumsi kita. bahwa patut di duga ada kekuatan besar di balik kekuasaan yang mengarahkan pembuatan undang-undang cilaka ini” tutupnya. (*)